Catatan Reportase :
Dari Pemilu Amerika : George
Bush atau Al Gore? (32)
New Orleans, 11/12/00 – 10:00 PM (12/12/00 - 11:00
WIB)
Hari Minggu sore kemarin, setiba kembali saya di New
Orleans setelah menempuh perjalanan udara dari Denver, saya langsung membuka
saluran CNN. Ternyata suasana di luar sidang sudah semakin “panas”. Para
pendukung kedua belah pihak saling berkumpul dan mengunjukkan perasaannya, baik
di Washington DC maupun di Tallahassee.
Sidang Mahkamah Agung Amerika dimulai tadi pagi
sekitar jam 11:00 waktu setempat. Para pengunjung yang ingin hadir di dalam
ruangan sidang Mahkamah Agung ini ternyata sudah mulai berkumpul sejak hari
Minggu kemarin. Mereka rela mengambil nomor urut kehadiran terlebih dahulu,
seperti layaknya pasien dokter yang mengambil nomor urut kehadiran atau
pendaftar ujian masuk perguruan tinggi yang ingin sepagi mungkin berada di
urutan paling depan.
Apa yang terjadi kemudian? Para pengunjung itu
menggelar kantung tidur (sleeping bag) dan membuka tenda di depan halaman
gedung Mahkamah Agung yang tiba-tiba berubah menjadi sebuah arena perkemahan.
Padahal suhu udara malam hari sedang sangat dingin. Mereka sudah mengantungi
nomor urut agar esoknya pagi-pagi (Senin pagi tadi) dapat masuk ke ruang sidang
mengikuti jalannya persidangan.
***
Kedua pengacara dari kedua pihak, Gore maupun Bush,
dicecar oleh para hakim untuk saling mempertahankan argumennya atas boleh tidaknya
dilakukan penghitungan ulang. Hingga malam ini belum ada tanda-tanda kapan
keputusan akan dikeluarkan oleh hakim mahkamah Agung Amerika.
Sementara di luar sidang, para pendukung kedua belah
pihak terus saling melancarkan kampanyenya mendukung kandidat masing-masing.
Dengan poster dan teriakan-teriakan, dipisahkan oleh petugas polisi, mereka
tidak henti-hentinya mengunjukkan perasaannya. Bukan hanya para kaum mudanya,
melainkan juga tampak para kakek dan nenek yang peduli dengan peristiwa bersejarah
proses pemilihan presiden Amerika yang berkepanjangan kali ini.
Yang menarik, kalau kemudian antara kedua pendukung
fanatik itu bertemu. Maka mereka saling “main hakim sendiri” di luar
persidangan. Dalam pengertian yang sebenarnya, mereka saling beradu argumen
layaknya antara hakim dan pengacara di dalam persidangan. Hanya sebatas itu,
tidak terjadi timpuk-menimpuk atau jotos-menjotos. Biasanya baru selesai kalau
sudah ada yang memisah.
Lho, kok bisa? Lha ternyata kok mereka malah
dapat berkonfrontasi dan tawuran dengan lebih manis. Ini yang saya belum tahu
jawabannya.
***
Hingga hari ini, ada yang mengganjal di pikiran
saya. Ketika Amerika sedang dilanda krisis atas proses pemilihan presidennya,
tidak satu pun negara di dunia yang cawe-cawe (ikut ambil perduli)
secara langsung. Berbeda halnya kalau ada krisis yang serupa terjadi di negara
lain, lebih-lebih negara dunia ketiga, maka Amerika segera akan blusukan
(menerobos kesana-kemari) untuk turut memainkan peranannya.
Sedemikian “digdaya”-nyakah negeri Amerika ini
sehingga tidak ada negara lain yang “berani” (atau enggan?) turut campur dalam
krisis pemilihan presiden yang sedang dihadapinya? Atau, sedemikian
“rapuh”-nyakah negara-negara berkembang sehingga dengan mudah dicampuri
urusannya (terang-terangan atau gelap-gelapan, langsung atau tidak langsung,
tampak mata atau sembunyi-sembunyi) oleh Amerika jika sedang dilanda krisis
yang serupa?
Atau, ganjalan pikiran saya saja yang terlalu su’udhon
(berprasangka buruk)? Entahlah……., saya mau tanya dulu pada rumput padang golf
yang bergoyang.-
Yusuf Iskandar
[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]